Suku makassar
2.kostum dan aksesoris
Menarik sekali melihat ragam corak pakaian adat suku Bugis dan
Makassar. Warna - warnanya cerah. Merah, kuning, hijau dan ungu adalah warna
yang paling sering mendominasi pakaian adat suku ini. Bentuknya pun unik
menyerupai baju kurung.
Baju bodo adalah pakaian adat suku Bugis dan Makassar.
Bodo artinya pendek. Jadi baju bodo artinya baju pendek. Tentu saja ada juga
baju panjang atau baju la’bu, tapi jenis baju ini kurang dikenal.
Dinamakan baju bodo atau baju pendek karena panjangnya
hanya mencapai sedikit di bawah pinggang. Sedangkan panjang baju la’bu atau
baju panjang mencapai lutut pemakai.
Walaupun potongan baju bodo mirip dengan baju kurung,
tapi tentu saja berbeda. Baju bodo bisa dikatakan minim jahitan. Baju ini hanya
menyatukan bagian kiri dan bagian kanan baju. Pada bagian leher tidak terdapat
kerah baju seperti baju kurung.
Jaman dahulu, pemakaian warna baju bodo tidak bisa
dilakukan sembarangan. Ada aturan tertentu mengenai hal tersebut. Misalnya baju
bodo berwarna hijau hanya boleh dikenakan para wanita bangsawan. Baju berwarna
merah untuk anak gadis. Sedangkan wanita yang telah menjanda diharuskan
mengenakan baju bodo berwarna ungu. Tentu saja aturan semacam ini kini tidak
berlaku lagi.
Lipa’ Sa’be
Lipa’ sa’be adalah pakaian adat suku Bugis lainnya.
Lipa’ sa’be adalah sarung sutra yang biasa digunakan sebagai bawahan baju
bodo’. Motif lipa’ sa’be kotak-kotak dengan warna-warni cerah.
Pemakai kedua pakaian adat suku Bugis ini biasanya
akan memadupadankan warna yang sesuai antara baju bodo dan lipa’ sa’be.
Memakainya pun sangat mudah.
Lipa’ sa’be digunakan layaknya menggunakan sarung.
Untuk membantu agar tidak melorot ketika digunakan, pemakai biasanya
menggunakan tali atau ikat pinggang. Salah satu ujungnya dibiarkan menjuntai
dan dipegang dengan tangan sebagai aksen pemanis. Khusus untuk penari, ujung
sarung diletakkan di bagian punggung dan dibentuk menyerupai kipas.
Lipa’ sa’be tidak hanya digunakan kaum wanita Bugis.
Kaum pria pun menggunakannya. Motif kotak lipa’ sa’be pria biasanya lebih
besar. Kaum pria memadupadankan lipa’ sa’be dengan atasan model jas atau
sejenis beskap.
Aksesoris
Dalam tradisi pakaian adat suku Bugis juga mengenal
pemakaian aksesoris. Aksesoris digunakan untuk melengkapi baju bodo dan lipa’
sa’be yang digunakan. Bila jaman dulu aksesoris terbuat dari emas, jaman
sekarang berupa sepuhan warna keemasan.
Beberapa aksesoris yang digunakan antara lain gelang
panjang, kalung, anting panjang, gelang lengan atas, bando atau hiasan konde.
Bentuk dan jenis perhiasan yang digunakan juga memiliki aturan tersendiri.
Misalnya seorang anak kecil mengenakan bando berbentuk kembang goyang di atas
kepala. Sementara untuk seorang ibu cukup dengan 1 atau 2 tusuk konde sebagai
hiasan di kepala.
Indonesia memang memiliki keanekaragaman adat dan
budaya yang beragam. Salah satu diantaranya adalah pakaian adat suku Bugis dan
Makassar. Bahkan tak jarang baju bodo dijadikan inspirasi oleh para desainer.
Demikian pula penggunaan sarung sutra yang dulu dikenakan hanya untuk bawahan
berupa sarung saja. Namun kini para desainer mengolahnya menjadi pakaian-pakaian
indah nan menawan.
3.upacara upacara adat
Adat Perkawinan
Tata cara upacara adat Makassar dalam acara perkawinan
sejatinya memiliki beberapa proses atau tahapan upacara adat, antara lain:
A’jangang-jangang (Ma’manu’-manu’).
A’suro (Massuro) atau melamar.
A’pa’nassar (Patenreada’) atau menentukan hari.
A’panaiLeko’ Lompo (erang-erang) atau sirih pinang.
Appassili bunting (Cemmemappepaccing) atau siraman dan
A’bubbu’ ( mencukur rambut halus dari calon mempelai).
Akkorontigi (Mappacci) atau malam pacar.
Assimorong atau akadnikah.
Allekka’ bunting (Marolla) atau mundumantu.
Appa’bajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai.
Upacara tradisional tersebut di atas masih memiliki uraian-uraian yang lebih detail dari masing-masing tahapan atau proses. Pada kesempatan ini akan diuraikan tentang tata cara upacara adat:
1. Appassili bunting (Cemmemappepaccing) danA’bubbu’.
2. A’korontigi (Mappacci).
3. Appanai’ LekoLompo (Erang-erang) atausirihpinang, danAssimorong (AkadNikah)
Appassili bunting
(Cemmemappepaccing), A’bubbu’ danAppakanre Bunting
Kegiatan dalam tata cara atau prosesi upacara adat ini terdiri dari:
Appassili bunting.
Persiapan sebelum acara ini adalah calon mempelai dibuatkan
tempat khusus berupa gubuk siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan
rumah atau pada tempat yang telah disepakati bersama oleh anggota keluarga.
Acara dilakukan sekitar pukul 09.00 – 10.00 waktu
setempat. Pelaksanaan acara pada jam tersebut memiliki niat atau maksud. Calon
mempelai memakai busana yang baru/baik dan ditata sedemikian rupa.
Appassili atau Cemme Mappepaccing mengandung arti membersihkan dengan maksud agar calon mempelai senantiasa diberi perlindungan dan dijauhkan dari mara bahaya oleh Allah SWT.
Appassili atau Cemme Mappepaccing mengandung arti membersihkan dengan maksud agar calon mempelai senantiasa diberi perlindungan dan dijauhkan dari mara bahaya oleh Allah SWT.
Prosesi Acara Appassili:
Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.
Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari
pammaja/gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke
atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung,
disertai dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk
memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri
oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan
dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke
kamar untuk berganti pakaian.
A’bubbu’ (Macceko).
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya
didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung
pengantin) atau lipa’ sabbe, serta assesories lainnya. ProsesiacaraA’bubbu
(macceko) dimulaidenganmembersihkanrambutataubulu-bulu halus yang terdapat di
ubun-ubun atau alis.
Appakanre bunting.
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas
tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya,
Onde-onde/Umba-umba, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan
dalam suatu wadah besar yang disebut bosara lompo.
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas
tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya,
Onde-onde/Umba-umba, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan
dalam suatu wadah besar yang disebut bosara lompo.
2. Akkorontigi (Mappacci).
Rumah calon mempelai telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas daerah bugis makassar, yang terdiri dari:
a.Pelaminan (Lamming)
b.Lila-lila
c.Meja Oshin lengkap dengan bosara.
d.Perlengkapan Korontigi/Mappacci.
Acara Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam,
mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan
harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari
esok yaitu hari pernikahannya.
Prosesi acara
Akkorontigi/Mappacci:
Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga
atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba,
acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas
barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong bunting yang
kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas
untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil
didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu
menuju pelaminan. Acara Akkorontigi/Mappacci ini diakhiri dengan peletakan
pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.
3. Appanai’ LekoLompo
(Erang-erang) atausirihpinang, danAssimorong
(AkadNikah)
Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon mempelai.
(AkadNikah)
Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon mempelai.
Beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah
pihak keluarga:
Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW).
Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW).
Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang
Lola menuntun CPP memasuki rumah CPW.
Seorangibu yang bertugasmenaburkanBente (benno) ke CPP
saatmemasukigerbangkediaman CPW.
Penerima erang-erang atau seserahan.
Penerima tamu.
Keluarga Calon Mempelai Pria (CPP).
- Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:
Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas
membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta
kelengkapan assesories CPW.
Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki.
Panca berisikan 1 tandankelapa, 1 tandanpisang raja, 1 tandanbuahlontara, 1
buahlabukuningbesar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah
nenas seperlunya, dan lain-lain.
- Perangkat adat, yang terdiri dari:
Seorang laki-laki pembawa tombak.
Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.
Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung
persegi empat).
Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi
bunting.
- Calon mempelai Pria
- Rombongan orang tua
- Rombangan saudara kandung
- Rombongan sanak keluarga
- Rombongan undangan.
Prosesi acara Assimorong:
Setelah CPP beserta rombongan tiba di sekitar kediaman
CPP, seluruh rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan.
Ketika CPP telah siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput
dengan mengapit CPP dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju gerbang kediaman
CPW. Saat tiba di gerbang halaman, CPP disiram dengan Bente/Benno oleh salah
seorang sesepuh dari keluarga CPW. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah
terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah
itu CPP beserta rombongan memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian
dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada
kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi
Ijab dan Qobul.
Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria
menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu,
yang dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau
mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai
menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman
kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan
dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.
B. Adat Kelahiran
Upacara Daur Hidup (Inisiasi)
Masa kehamilan utamanya pada kehamilan pertama pada
suatu keluarga merupakan suatu waktu yang penuh perhatian keluarga kedua belah
pihak.
Masa kehamilan pada bulan pertama sampai dengan bulan
keempat disebut angngirang. Dalam masa ini muncul keaneh-anehan bagi calon ibu,
baik dalam tingkah laku maupun dalam keingin-inginannya. Kedua belah keluarga
berusaha memenuhi keinginan calon ibu tersebut terutama yang berupa makanan.
Apabila keinginan-keinginan itu tidak dipenuhi akan berakibat tidak baik bagi
bakal bayi yang akan dilahirkan. Selama masa kehamilan berlaku
pantangan-pantangan bagi si calon ibu, maupun si calon ayah.
Setelah perut calon ibu mulai nampak, maka sepakatlah
keluarga kedua belah pihak untuk memanggil dukun yang disebut annaggala sanro.
Adapun yang dipanggil, ialah dukun turun-temurun dari keluarga. Memanggil dukun
(annaggala sanro) ialah dengan mengantarkan bosarak yang berisi ikatan-ikatan
daun sirih, pinang, dan uang (logam).
Apabila kandungan telah berusia tujuh bulan, maka
diadakan upacara anynyapu battang/appakaddok mengngirang yang diebut juga
appasilli. Pada upacara ini kedua belah pihak dari keluarga mengadakan
macam-macam panganan, di antaranya terdapat kanre jawa picuru (makanan yang
mempunyai arti simbolis), serta tidak ketinggalan buah-buahan.
Acara pertama dalam upacara ini, ialah memandikan
calon ibu dengan suaminya (nipassilli) dengan maksud untuk menjaga calon
ibu maupun bayi yang akan lahir, dengan mengusir dan menolak pengaruh-pengaruh
jahan. Selesai mandi calon ibu dan bapak berpakaian adat, rapih, dan bagus
kemudian bersanding menghadapi hidangan yang disediakan dan dikerumuni oleh
sanak suami istri tersebut disuruh memilih dari salah satu macam penganan yang
tersedia, dengan ketentuan mengambil makanan yang sangat diinginkannya.
Dari penganan yang diambil, dapat diramal jenis kelamin bayi yang akan
dilahirkan.
Setelah ada tanda-tand bayi akan lahir, keluarga kedua
belah menunggui bersama sang dukun. Menjelang bayi akan lahir, biasanya calon
ibu mudah pallammori dengan
tujuan agar si calon ibu mudah melahirkan.
Sesudah bayi lahir, maka bayi bersama plasentanya
diletakkan di atas kapparak, lalu sang dukun memotong plasenta bayi tersebut.
Plasenta kemudian dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam periuk tanah bersama
4.rumah adat
Balla lompoa adalah
rumah adat Makassar/Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia. Sebelum dialihfungsikan
sebagai Museum Balla Lompoa, rumah ini dulunya merupakan sebuah istanah yang
dibangun pada tahun 1936 oleh Raja ke-35 yaitu Andi Mangimangi yang berkuasa pada tahun 1906-1946. Sekarang
tempat ini juga berfungsi sebagai objek wisata sejarah yang menarik untuk
dikunjungi.
5.daerah yang
meliputi suku makassar
Suku Makassar
mendiami daerah Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, dan Bantaeng. Suku Makassar
memakai bahasa Makassar dan jika kita telusuri sejarahnya, kita akan berujung
pada sejarah kebesaran Kerajaan Gowa.
Terdapat beberapa daerah yang merupakan bauran antara suku Bugis dan Makassar: Pangkajene-Kepulauan (Pangkep), Maros, dan Bulukumba.
Terdapat beberapa daerah yang merupakan bauran antara suku Bugis dan Makassar: Pangkajene-Kepulauan (Pangkep), Maros, dan Bulukumba.
Suku
mandar
2.kostum
dan aksesoris
Setiap
pakaian adat suku Mandar tidak lepas dari lipa saqbe. Disamping adalah foto
contoh pakaian adat suku Mandar dengan menggunakan sarung khas mandar yaitu lipa saqbe (nama lipa saqbe yang digunakan
adalah Sure' Padzadza).
Lipa Saqbe Mandar (Sarung Sutra Mandar)
sepintas memiliki persamaan dengan kain sutra daerah lain, tapi di setiap jenis
dan nama Lipa Saqbe Mandar memiliki ciri khas khusus yakni
dari segi corak (sure' ataupun bunga) dan cara pembuatannya,
yang membuatnya terkenal ke daerah sekitarnya (bugis dan makassar).
Posisi
coraknya itu tidak sembarangan, karena penciptaan motif (sure' ataupun bunga) punya peruntukan
masing-masing berdasarkan standar ekonomi, sosial budaya, agama, dan juga
strata sosial seseorang.
Saat
ini terdapat 2 jenis Lipa Sa'be bila ditinjau dari motifnya yaitu Sure dan
Bunga. Perbedaannya, Sure' yaitu lipa sa'be yang
merupakan motif asli dari sarung sutra mandar, ciri-cirinya tidak memiliki
hiasan/bunga yang membuatnya mencolok. Sedangkan Bunga yaitu lipa sa'be yang memiliki
motif dan hiasan berupa bunga ataupun lainnya, yang merupakan turunan dari sure
agar lipa sa'be tampak lebih cantik.
3.upacara adat
A.
Selayang Pandang
Sayyang
Pattudu (kuda menari), begitulah masyarakat suku Mandar, Sulawesi Barat menyebut
acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat)
Al-Qur‘an. Bagi warga suku Mandar, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz
Al-Quran merupakan sesuatu yang sangat
istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan
pesta adat Sayyang Pattudu. Pesta ini biasanya digelar
sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid/Rabi‘ul Awwal (kalender
Hijriyah). Pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari
ditunggangi anak-anak yang mengikuti acara tersebut.
Bagi
masyarakat Mandar, khatam Al-Qur‘an dan acara adat Sayyang Pattudu memiliki
pertalian erat antara satu dengan lainnya. Acara ini tetap mereka lestarikan
dengan baik, bahkan masyarakat suku Mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat
dengan sukarela akan kembali ke kampung halamannya demi mengikuti acara
tersebut. Penyelenggaran pesta adat ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi
tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali dilaksanakan. Jejak sejarah yang
menunjukkan awal pelaksanaan kegiatan sampai sekarang juga belum terdeteksi
oleh para sejarawan dan tokoh masyarakat.
4. Rumah adat suku Mandar disebut boyang.
5. Suku Mandar mendiami
daerah Mamuju, Majene, Pasangkayu yang sekarang memisahkan diri membentuk
Sulawesi Barat. Termasuk daerah Polmas, juga sudah bergabung ke dalam wilayah
Sulbar. Suku Mandar memakai
bahasaMandar
Suku
toraja
2.kostum dan aksesoris
Pakaian adat dan tarian - Baju adat Toraja
disebut BajuPokko' untuk wanita dan seppa tallung buku untuk laki-laki. Baju
Pokko' berupa baju dengan lengan yang pendek.Sedangkan seppa tallung buku
berupa celana yangpanjangnya sampai dilutut.Pakaian ini masih dilengkapi dengan
asesoris lain, sepertikandaure, lipa', gayang dan sebagainya
3.upacara adat
Di wilayah Kab . Tana Toraja terdapat dua upacara adat
yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman)
dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat
Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun Rambu
Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam
ragamnya.
Rambu Solo
Adalah sebuah upacara pemakaman secara
adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Tingkatan Upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam
beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang
hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman
yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta
dilakukan pemotongan hewan.
Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang
berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta
dilakukan pemotongan hewan.
Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang
berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan
hewan.
Upacara tertinggi
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan
dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama
disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan
keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya
dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari
prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus
dijalani, seperti : Ma’tundan, Ma’balun (membungkus jenazah), Ma’roto
(membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’Parokko Alang
(menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma’Palao
(yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Upacara Adat Rambu Tuka
Upacara adat Rambu Tuka’ adalah acara
yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen
dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi;
menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan
di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma’Bua’,
Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Untuk upacara adat Rambu Tuka’ diikuti
oleh seni tari : Pa’ Gellu, Pa’ Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan,
Pa’Burake, Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni
musik yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang
ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’.
Pemakaman
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman
dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan
jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini
telah menjadi obyek wisata, seperti di :
Londa, yang merupakan suatu pemakaman
purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang
berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu
menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.
Lemo adalah salah satu kuburan leluhur
Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat
disebut dengan Liang Paa’. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang
tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran
dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model
liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
Tampang Allo yang merupakan sebuah
kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla’ dan berisikan puluhan
Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia.
Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla’ dalam hal ini Sang Puang
Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai
tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari
janji dan sumpah suami istri yakni “sehidup semati satu kubur kita berdua”. Goa
Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
Liang Tondon lokasi tempat pemakaman
para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri
dari 12 liang.
To’Doyan adalah pohon besar yang
digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara
alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk
rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat
bayi.
Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu
berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda
bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara
adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi
gelar Ne’Babu’ disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu
yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
Ta’pan Langkan yang berarti istana
burung elang. Dalam abad XVII Ta’pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5
rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi’. Makam purbakala ini
terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai
lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding
Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis
tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta’pan Langkan
termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan
Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
Sipore’ yang artinya “bertemu” adalah
salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat
membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas.
Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.
Rante yaitu tempat upacara pemakaman
secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir
yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran
sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang
sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada
saat pembuatan/pengambilan batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan
bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam
tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan
almarhum. Pada pemakaman golonganbangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap
upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayunangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari
Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau
dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini
keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman
muka almarhum.
4.Rumah adat
Sudah
pernah mendengar mengenai Tongkonan? Tongkonan adalah rumah adat suku
Toraja,salah satu suku yang ada di Sulawesi Selatan. Di tempat inilah
masalah-masalah yang berhubungan dengan adat dibicarakan oleh para kaum
bangsawan Toraja. Tetapi yang membuat "rumah" ini istimewa adalah
bentuk atapnya yang mirip dengan perahu terbalik dan menurut legenda atap itu
memang perahu terbalik! Konon kedatangan mereka dari lautan utara disebabkan
karena kapal mereka rusak setelah terkena badai lautan, mereka terdampar dan
akhirnya membangun rumah dengan atap yang berasal dari kapal yang rusak itu.
Unik ya... Nah,coba deh perhatikan gambar Tongkonan,sangat berciri khas,penuh
dengan ukiran kayu yang sarat dengan makna.
Uniknya Tongkonan memberi kami inspirasi untuk membuat motif Tongkonan diatas selembar kain batik sutera ATBM KCS yang dirancang untuk pembuatan kemeja pria dan sarimbit. Masing-masing modifikasi motif ini hanya ada satu lembar (untuk kemeja pria) dan satu set (untuk sarimbit), tidak mempunyai kembaran motif yang sama dan tentunya dengan proses batik tulis.
Uniknya Tongkonan memberi kami inspirasi untuk membuat motif Tongkonan diatas selembar kain batik sutera ATBM KCS yang dirancang untuk pembuatan kemeja pria dan sarimbit. Masing-masing modifikasi motif ini hanya ada satu lembar (untuk kemeja pria) dan satu set (untuk sarimbit), tidak mempunyai kembaran motif yang sama dan tentunya dengan proses batik tulis.
5.daerah yang meliputi toraja
Suku Toraja mendiami daerah Toraja yang terdiri dari Makale
dan Rantepao. Suku Toraja memakai bahasa Toraja dan kebanyakan penduduknya
beragama Nasrani.