A. Marraga
1. Asal Usul
marraga
berasal dari kata bugis,sedangkan orang makassar, sering menyebut permainan ini
dengan akraga (olahraga). marraga termasuk jenis permainan yang memadukan unsur
olahraga dan seni.permainan ini memerlukan kecekatan,ketangkasan dan
kelincahan. permainan yang berasal dari malaka ini, konon hanya dimainkan oleh
para bangsawan Bugis pada saat diadakan upacara-upacara resmo kerajaan
seperti,pelantikan raja dan perkawinan anggota kerajaan.Versi ini yang lain
menyebutkan bahwa permainan ini berasal dari Pulau Nias (SUmatera Utara).
Dewasa ini marraga bukan hanya dimainkan oleh para bangsawan, tetapi juga oleh
orang kebanyakan.
2.
Pemain
Marrraga umumnya
dimainkan oleh pria,baik remaja maupun dewasa.dalam satu permainan jumlah
permainnya 5-15 orang
permainan dilakukan pada sebidang tanah datar
yang permukaannya dibuat lingkaran dengan garis tengah minimal 6 meter.
Perlatan yang digunakan adalah raga, yaitu
sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah,diraut
halus kemudian dianyam. Alat ini umumnya berdiameter 15 cm. adakalanya gendang
di pergunakan untuk mengiringi jalannya permainan.
4. Aturan dan Proses permainan
Peraturan
permainan marraga dapat dikatakan sederhana, yaitu permain (jika menerima raga
dari permain lain) harus melambungkan raga tersebut agar jangan sampai terjatuh
sebelum dioperkan pada permain lainnya.
cara melambungkan raga adalah dengan menggunakan kaki,tangan,bahu,dada
dan anggota tubuh lainnya,tetapi tidak boleh dipegang.tinggi rendahanya
lambungan raga ada yang dapat mencapai 3 m dari permukaan tanah secara tegak
(sempak sarring/anrong sempak);ada yang sedikit melampaui kepala
(sepak biasa); dan ada yang dibawah pusar (sempak caddi). hal itu tergantung
dari keahlian dan keinginan permain.orang yang dianggap mahir (niak sempakna
atau niak
belona), selain dapat mempertahankan raga agar tidak jatuh ke
tanah,juga dapat melambungkan raga sesuai dengan persyaratan permaianan (bajiki
anring sempakna), yaitu : 1. pintar mengambikl raga,disiplin dan mampu
menghidupkan suasana
bermain ( caraddeko anggalle raga), 2. sepakannya bervariasi dan
sulit ditiru oleh pemain lainnya (jai sempak masagalana).
sebelum permainan
dimulai, para pemain berdiri membentuk lingkaran. salah seorang
pemain(termahir) memegang raga kemudian melambungkannya.pemain yang posisinya
pas dengan jatuhnya raga, maka dia yang harus memulai permainan.Selanjutnya,
raga dioperkan pada pemain lain dalam lingkaran tersebut, demikianlah secara bergiliran.
sebagai catatan, pemaian tidak boleh memonopoli permainan dan menyerobot
kesempatan pemain lain.dalam hal ini berlaku asa pemerataan kesempatan bagi
para permain untuk
menunjukkan keahliannya masing0-masing.pertandingan dianggap
selesai jika bola jatuh ke tanah.permain yang menjatuhkannya dapat dikeluarkan
sebelum permainan dimulai atau kembali seperti semula.
5. Nilai Budaya
Nilai yang
terkandung dalam permainan marraga adalah kerja sama, kecermatan,demokrasi dan
sportivitas.nilai kerja keras dan kerja sama tercermin dari usaha para permain
untuk menjaga dengan berbagai macam cara agar raga tidak jatuh ke tanah.Nilai
kecermatan tercermin dari usaha permain untuk melambungkan atau
menyepak raga ke sasaran yang dituju,sehingga raga tidak keluar dari arena
permainan.nilai demokrasi tercermin dari tidak adanya pemonopolian atau
penyerobotan kesempatan pemain lain. jadi,para
pemain diberi kesempatan untuk menunjukkan keahliannya. dan nilai
sportivitas tercermin dari pemain yang dengan lapang dada keluar arena karena
menjatuhkan raga ke tanah.
B. Maggasing
1. Pengantar
Maggasing
adalah penamaan dalam bahasa Bugis, sedangkan orang Makassar, Indonesia,
menamainya akgasing yang dalam bahasa Indonesia umumnya dikenal dengan bermain
gasing. Penamaan permainan ini bersumber dari peralatan pokok yang digunakan
dalam bermain yaitu gasing. Asal usul permainan gasing menurut Kuderen dan
Mathes dalam “Tot Bijdragen de Etnologie van Zuid Celebes”, berasal dari daerah
Sumatera, kemudian berkembang ke daerah-daerah lainnya sesudah Islam, melalui
hubungan dagang.
2. Pemain
Jumlah
pemain maggasing 2—6 orang. Secara umum maggas
ing
dimainkan oleh kaum laki-laki, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.
3. Tempat
dan Peralatan Permainan
Maggasing
dapat dilakukan di mana saja; bisa di halaman rumah, di halaman rumah adat,
ataupun di lapangan pada waktu pagi dan atau sore hari. Peralatan yang
digunakan adalah sebuah gasing yang terbuat dari kayu yang berkualitas baik,
seperti: kayu jati, teras batang nangka, kayu bayam, teras batang jambu dan
kepundung. Kayu tersebut dibentuk dengan garis tengah antara 2,5—4 cm. Bagian
bawahnya agak runcing, kemudian ujungnya dibentuk seperti paku dengan tonjolan
sepanjang kira-kira 2 mm. Saat ini tonjolan tersebut sebagian besar sudah
menggunakan paku besi. Paku inilah yang nantinya akan menyentuh tanah sewaktu
gasing berputar. Peralatan lainnya adalah ulang atau benang yang diameternya
sekitar 1 mm dan panjangnya 3 meter. Salah satu ujung benang dibuhul kuat-kuat.
Ujung yang lain dikaitkan pada sekerat kayu kecil sebesar lidi yang panjangnya
3 cm. Sekerat kayu ini berfungsi sebagai penahan benang sewaktu gasing
dilontarkan.
4. Aturan
dan Proses Permainan
Ada
dua jenis permainan beserta aturannya yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat
Bugis, yaitu permainan yang mengutamakan bentuk, keindahan, serta lamanya
perputaran gasing dan permainan kompetisi. Pada permainan pertama yang dinilai
tidak hanya bentuk, keindahan, ukuran, tinggi badan gasing, kehalusan rautannya
dan lamanya putaran, tetapi juga keseimbangannya dalam berputar. Peserta yang
paling memenuhi kriteria itu dinyatakan sebagai pemenangnya. Sedangkan pada
permainan kedua lebih mengutamakan keahlian seseorang dalam bermain dan dapat
mengeluarkan semua gasing lawan dari lingkaran. Pemain yang dapat melakukannya
dianggap sebagai pemenang.
5. Nilai
Budaya
Permainan
yang disebut sebagai maggasing mengandung nilai keserasian dan sekaligus
keindahan serta ketangkasan dan kecermatan. Nilai keserasian dan keindahan
tercermin dalam pembuatan gasing. Dalam konteks ini gasing tidak hanya dapat
berputar, tetapi keserasian bentuk dan keindahan sehingga enak dipandang mata
juga diperhatikan. Nilai ketangkasan dan kecermatan tercermin dalam usaha
mengeluarkan gasing lawan dari arena (lingkaran permainan). Tentunya ini
membutuhkan ketangkasan dan kecermatan. Sebab jika tidak, sulit untuk
mengeluarkan gasing lawan dari dalam arena. (pepeng).
C.Magguleceng
1. Asal
Usul
Maggalenceng
adalah salah satu permainan yang ada di kalangan orang Bugis. Permainan ini
dahulu dianggap sakral karena hanya dimainkan pada saat ada kematian. Dengan
perkataan lain, permainan ini tidak boleh dilakukan di sembarang waktu karena
dapat mendatangkan kematian bagi anggota keluarga si pemain. Oleh karena itu,
para orang tua melarang siapa saja yang memainkan permainan ini pada saat yang
tidak tepat (bukan saat-saat ada kematian).
Penyelenggara
permainan ini adalah pihak keluarga yang berkabung. Lama dan singkatnya
penyelenggaraan permainan ini bergantung pada status sosial orang keluarga yang
meninggal. Dalam konteks ini jika orang yang meninggalkan adalah orang
kebanyakan, maka penyelenggaraan permainan hanya dilakukan dalam waktu 7 hari
(berturut-turut dan dilakukan pada malam sampai menjelang pagi hari). Namun,
jika orang yang meninggal mempunyai status sosial yang tinggi di dalam
masyarakatnya (kaum bangsawan), maka permainan biasanya akan diselenggarakan
selama 40--100 hari.
Kesakralan
permainan yang sebenarnya hanya untuk berjaga-jaga agar tidak mengantuk dan
sekaligus menghibur anggota keluarga yang meninggal itu berangsur-angsur
memudar sejak datangnya agama Islam yang dibawa oleh Abdul Makmur dari
Minangkabau (Sumatera Barat) pada abad ke-16 (www.wikipedia.org). Dewasa ini
tidak ada lagi kesakralannya. Malahan, fungsinya berubah menjadi suatu
permainan muda-mudi. Melalui permainan ini remaja yang berlainan jenis itu
saling merajuk dan atau mengungkapkan isi hatinya.dengan nyanyian yang berupa
syair. Syair itu antara lain adalah sebagai berikut:
Addara-dara
teduce
Anggalacang
tasitembak
Manna
taduce
Naduceanji
kalenna
Manna
tatette
Natettekanji
kalenna
Artinya:
Bermain
dara-dara tidak pernah salah
Bermain
galaceng tidak saling mengalahkan
Walau
tidak kalah
Dia
mengalahkan dirinya
Meskipun
tidak menang
Dia
memenangkan dirinya
Laka-kelamaan
para pemuda menganggap bahwa permainan ini kurang menantang karena tidak perlu
mengeluarkan tenaga dan fisik yang kuat, sehingga jarang pemuda ikut dalam
permainan ini.
2. Pemain
Permainan
maggalenceng dapat dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa laki-laki maupun
perempuan. Namun, saat ini, secara umum maggalenceng dimainkan oleh kaum
perempuan, terutama anak-anak yang berusia 6--12 tahun. Kaum laki-laki sangat
jarang memainkannya. Jumlah pemain tergantung dari jumlah papan maggalenceng
yang tersedia. Untuk satu papan permainan hanya dapat dimainkan oleh dua orang.
3. Tempat
Permainan
Dahulu
maggalenceng hanya dimainkan di teras atau beranda rumah orang yang baru saja
meninggal dunia. Namun, sekarang ini dapat dimainkan di mana saja dan kapan
saja karena tidak memerlukan tempat yang khusus. Jadi, bisa di dalam rumah, di
beranda rumah, atau di balai-balai rumah adat (bisa pagi, siang, sore, atau
malam hari).
4. Peralatan
Permainan
Peralatan
yang digunakan dalam permainan adalah aggalancengngeng yang terbuat dari kayu
yang tebalnya kurang lebih 10 cm, lebar 20 cm dan panjang 50 cm. Kayu tersebut
diberi lubang-lubang (bundar) dengan kedalaman kurang lebih 5 cm. Jumlah lubang
seluruhnya adalah 12 buah, dengan rincian 10 lubang dibuat dua jejer
(masing-masing jejer 5 lubang), kemudian dua lubang yang agak besar di setiap
ujungnya (aggalancengngeng). Selain aggalancengngeng, permainan ini juga
menggunakan biji-biji buah pohon asam atau kerikil yang jumlahnya antara 50--70
biji untuk mengisi lubang yang tersedia. Biji-biji tersebut nantinya dibagi
menjadi dua untuk masing-masing pemain.
5. Aturan
Permainan
Ada
empat cara yang dikenal oleh orang Bugis-Makassar dalam permainan ini. Pertama,
mabbetta, yaitu jika biji yang terakhir kena lubang yang kosong di daerahnya
sendiri, sementara lubang lawan di depannya berisi maka bijinya diambil sebagai
kemenangan pihak lawan. Kedua, maddappeng, yaitu apabila biji persis habis pada
lubang lawan yang berisi tiga biji, maka bijinya diambil sebagai kemenangan
lawan. Ketiga, gabungan dari mabbetta dan maddappeng. Dan, keempat sigappae,
yaitu masing-masing ulu tidak diisi tetapi digunakan sebagai tempat biji
kemenangan.
6. Jalannya
Permainan
Jalannya
permainan dimulai dengan memasukkan biji-biji ke dalam lubang-lubang yang ada
di dalam papan permainan (aggalancengngeng), kecuali dua buah lubang besar saja
yang berada di ujung aggalancengngeng. Kedua lubang ini tidak boleh diisi.
Jumlah biji pada setiap lubang adalah sama. Jika jumlah seluruh biji yang
disepakati adalah 70 biji, maka setiap lubang akan diisi oleh 7 biji. Kemudian
salah satu pemain yang mendapat kesempatan pertama akan mengambil semua biji
dari lubang paling ujung yang ada di daerahnya sendiri. Biji-biji tersebut
kemudian akan diedarkan satu persatu dengan arah yang berlawanan jarum jam ke setiap
lubang yang ada di papan permainan, kecuali satu lubang besar di ujung papan
yang menjadi “milik” lawan. Apabila biji masuk ke lubang yang paling besar
(miliknya sendiri), maka biji tersebut merupakan nilai bagi pemain yang
bersangkutan. Namun, jika biji yang terakhir jatuh ke lubang yang masih ada
bijinya, maka pemain mengambil biji-biji tersebut untuk diedarkan kembali.
Demikian seterusnya hingga suatu saat biji terakhir jatuh pada lubang yang
kosong. Jika itu terjadi, maka pemain yang lain (lawan mainnya) akan
menggantikannya. Permainan akan berlangsung terus hingga biji-biji yang berada
di lubang-lubang kecil seluruhnya masuk ke dua buah lubang besar di ujung papan
permainan milik kedua pemain. Bagi pemain yang mendapatkan biji terbanyak akan
menjadi pemenangnya.
7. Nilai
Budaya
Nilai
yang terkandung dalam permainan maggalenceng adalah kecermatan dan sportivitas.
Nilai kecermatan tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar biji-biji
yang akan dijatuhkan tidak mengenai lubang yang kosong sehingga dapat terus
bermain dan mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Nilai sportivitas tercermin
tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat
berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang
dada. (pepeng).
D.
Massaung Manu
1. Asal
Usul
Massaung
manuk adalah penamaan orang Bugis untuk sebuah permainan yang dalam bahasa
Indonesia berarti “sabung ayam”. Massaung manuk dahulu hanya dilakukan para
raja dan bangsawan Bugis pada pagi atau sore hari untuk memeriahkan pesta-pesta
adat seperti: pelantikan raja, perkawinan, dan panen raya. Konon, permainan ini
bermula dari kegemaran para raja yang sering mempertarungkan pemuda-pemuda di
seluruh wilayah kerajaannya untuk mencari tubarani-tubarani (pahlawan) kerajaan
yang akan dibawa ke medan pertempuran. Jadi, pada waktu itu yang disabung
bukanlah ayam melainkan manusia. Namun, lama-kelamaan, mungkin karena semakin
jarangnya terjadi peperangan antarkerajaan, pertarungan antarmanusia itu
berubah menjadi pertarungan antarayam yang dinamakan massaung manuk.
Pada
waktu itu permainan tidak hanya dilakukan di dalam sebuah kerajaan, tetapi juga
antarkerajaan yang tujuannya tidak hanya untuk bersenang-senang tetapi juga
sebagai ajang adu prestasi, gengsi dan perjudian. Pemilik yang ayamnya selalu
menang akan dianggap sebagai orang yang berhasil melatih ayam aduannya, dan
kedudukannya akan dipandang lebih tinggi di kalangan para pengadu ayam.
Kemudian, ayam aduan yang selalu menang dalam pertarungan akan menjadi “maskot”
kerajaan sebagai lambang keberanian. Nama pemiliknya pun akan dikenal oleh
seluruh penduduk, baik di dalam maupun di kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan,
ketika itu banyak pahlawan Bugis yang sering menggunakan julukan yang sama
seperti nama-nama ayam yang terkenal di daerahnya masing-masing, misalnya, I
Segong Ri Painaikang, Buleng Lengna Lantebung, Cambang Toana Labbakang, Korona
Jalanjang, Campagana Maccinibaji dan lain sebagainya.
Dalam
perkembangannya, permainan yang disebut sebagai massaung manuk ini tidak hanya
dimainkan oleh kaum bangsawan saja, melainkan juga oleh oleh rakyat jelata.
Permainan juga dapat dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu adanya
pesta-pesta adat terlebih dahulu. Saat ini permainan massaung manuk dilarang
oleh pemerintah, disamping karena lebih menekankan pada motif perjudian, juga
dianggap terlalu kejam dan merendahkan martabat manusia. Padahal, bagi
masyarakat “tradisional” Bugis, menganggap bahwa sesuatu yang berlaga hingga
mengeluarkan darah, dipercaya akan menambah keberanian dan kesaktian.
2. Pemain
Jumlah
pemain massaung manuk tidak dibatasi. Namun, untuk satu kali pertandingan hanya
diikuti oleh dua orang peserta karena ayam yang akan diadukan harus satu
melawan satu. Massaung manuk hanya dimainkan oleh laki-laki, dari usia remaja
hingga orang dewasa (tua).
3.Tempat
Permainan
Permainan
massaung manuk dapat dilakukan di mana saja, asalkan memiliki arena yang
berbentuk lingkaran atau persegi empat seluas sekitar 5 x 5 meter. Jadi, bisa
di pekarangan rumah maupun lapangan. Permainan ini biasanya dilakukan pada pagi
atau sore hari.
4. Peralatan
Permainan
Peralatan
yang digunakan dalam permainan ini adalah: ayam, taji, dan kayu bercagak. Ayam
yang akan diadu bukan sembarang ayam, tetapi ayam jantan yang dinilai kuat,
besar dan tangguh dalam bertarung. Ayam-ayam yang telah dipilih menjadi
ayam-aduan biasanya akan dirawat dengan sangat baik. Adakalanya ayam-ayam ini
dimantrai atau dijampi-jampi agar dapat mengalahkan lawannya. Taji adalah
senjata yang diikatkan pada kaki ayam agar serangannya efektif dan mematikan.
Alat ini terbuat dari logam dan berbentuk runcing menyerupai keris atau badik
kecil. Kayu bercagak pada saatnya akan diselipkan di leher ayam yang kalah
untuk dipatuk oleh ayam yang menang.
5. Aturan
Permainan
Peraturan
permainan massaung manuk tergolong sederhana, yaitu apabila dua ekor ayam
jantan diadukan dan salah satu diantaranya kalah atau mati, maka ayam yang
dapat mengalahkannya dinyatakan sebagai pemenang.
6. Jalannya
Permainan
Permainan
dimulai dengan pengundian untuk menentukan ayam siapa saja yang nantinya
mendapat giliran untuk bertarung. Setelah urutan peserta yang ayamnya akan
bertarung ditetapkan, maka bagi yang mendapat giliran pertama akan memasukkan
ayamnya ke dalam arena. Kemudian, ayam-ayam tersebut oleh pemiliknya akan
dipasangi sebilah atau dua bilah taji, bergantung kesepakatan para pemilik
ayam. Orang Bugis menyebut pemasangan taji ini sebagai rinrelengngi, sedangkan
orang Makassar menyebutnya nibulanggi. Setelah itu, ayam diadu sampai ada yang
kalah atau mati. Pada saat kedua ayam berlaga, penonton bersorak-sorai
menyemangati ayam yang dijagokannya. Sementara, pemilik ayam berkeliling,
menyemangati ayamnya dengan teriakan, dan sekaligus mengawasinya
(berjaga-jaga). Ayam yang “kalah” lehernya akan dijepit dengan kayu bercagak.
Kemudian, ayam yang menang harus mematuk kepalanya sejumlah tiga kali. Jika
ayam yang “menang” itu tidak dapat mematuk sejumlah tiga kal, maka permainan
dianggap seri.
7. Nilai
Budaya
Walaupun
pemerintah dan sebagian masyarakat Bugis menganggap bahwa permainan massaung
manuk bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan, namun lepas
dari masalah itu sesungguhnya permainan ini mempunyai nilai yang sangat berguna
dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras,
kreativitas dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari perawatan ayam
aduan yang dilakukan dengan sangat baik melebihi perawatan ayam-ayam biasa yang
bukan aduan. Disamping merawat, pemilik ayam juga harus melatih ayam aduannya
agar semakin lihai dalam bertarung. Nilai kreativitas tercermin dari cara-cara
yang dilakukan oleh pemilik ayam dalam memilih ayam aduan yang baik dan dalam
menggunakan peralatan-peralatan khusus (taji) agar ayamnya dapat menang secara
cepat dan efektif. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para
pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau
menerima kekalahan dengan lapang dada ketika ayamnya kalah atau mati. (gufron).
E.
MALLOGO/ALLOGO
1.
Asal Usul
Mallogo (Bugis) atau Allogo (Makassar) adalah
salah satu permainan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan (Sul-Sel).
Permainan ini mengandung nilai pendidikan
seperti kejujuran dan sportivitas. Meskipun kini mallogo jarang
dimainkan lagi, namun masyarakat Sul-Sel senantiasa merasakan kerinduan untuk
melihat permainan ini. Kerinduan ini bukti bahwa mereka begitu terikat pada
tradisi leluhurnya ( Abu Bakar Punagi, 1960: 45; Aminah Pabittei, 2009: 68 ).
Pada masa lalu, selain masyarakat awam,
mallogo juga lazim dimainkan oleh kaum bangsawan. Oleh karena itu, terdapat dua
jenis logo. Logo untuk bangsawan terbuat dari tanduk kerbau, seng, atau besi
yang disepuh emas, sedangkan logo masyarakat dari tempurung kelapa kering.
2.
Peralatan
Permainan mallogo hanya memerlukan peralatan
sederhana, yaitu logo dari tempurung kelapa kering dan sebilah bamboo sebagai
pemukul (paqcampaq). Logo dibuat dua bentuk, yaitu logo kecil ukuruan 7-8 cm
sebanyak 6-8 buah dan logo besar ukuran 15 cm.
3.
Pemain
Mallogo dimainkan oleh dua orang atau lebih.
Rata-rata pemain adalah anak-anak atau remaja laki-laki maupun perempuan.
4.
Tempat Permainan
Mallogo biasanya dimainkan di pinggir sawah atau
halaman rumah.
5.
Aturan Permainan
Secara umum, ada tiga aturan dalam permainan
mallogo, yaitu:
·
Pemain di
anggap pemenang jika mampu menjatuhkan semua logo, dan ia kembali dapat
memukul.
·
Jika pemain
pertama tidak dapat menjatuhkan semua logo, maka permainan berpindah ke lawan.
·
Nilai
pemenang ditentukan dari jumlah logo yang jatuh.
6.
Cara Permainan
Mula-mula. Enam atau delapan logo kecil
dijajar ke belakang dengan menancapkan salah satu sudutnya ke tanah. Jarak
antar logo kurang lebih 10 cm. logo besar diletangkan di tempat menembak atau
memukul. Jarak tembak diatur sesuai kesepakatan pemain. Pemain yang dahulu
memukul juga diatur sesuai kesepakatan atau undian.
Salah satu pemain mulai memukul logo besar
sembari duduk atau jongkok. Jika dapat menjatuhkan semua logo kecil, ia
mendapat nilai dan dapat memukul lagi. Sebaliknya, jika tidak, maka pemukul
berganti ke pemain yang paling banyak menjatuhkan logo kecil.
Mallogo memiliki istilah-istilah khusus yang
harus dipahami oleh setiap pemain. Istilah-istilah tersebut antara lain.
·
Olo, istilah
untuk menyebut orang atau kelompok yang pertama memukul.
·
Boko,
istilah untuk orang atau kelompok pemukul selanjutnya.
·
Ambaq,
istilah untuk orang atau kelompok yang melakukan pukulan.
·
Logo mate,
istilah untuk logo yang ada pada jajaran pertama dalam posisi terlungkup
setelah dipukul.
·
Logo tuwu,
istilah untuk orang atau kelompok yang berhasil menjatuhkan satu atau lebih
logo kecil.
·
Senteng,
sebutan untuk logo yang jatuh semua.
·
Lepa atau
piping, sebutan untunk pukulan yang hanya mengenai logo kecil tapi tidak sampai
jatuh.
·
Rencing,
sebutan untuk pukulan pertama, dan kedu-duanya batal.
·
Bacu,
sebutan untuk pukulan yang hanya membuat antar logo saling bersentuhan tapi
tidak jatuh.
7.
Nilai-nilai
Permainan mallogo mengandung nilai-nilai
luhur sebagai berikut:
·
Melatih
ketangkasan dan ketenangan. Permainan mallogo memerlukan ketangkasan pemainnya.
·
Olahraga.
Nilai ini tercermin dari gerakan pemain saat memukul atau melempar yang
membutuhkan stamina, energy, dan fisik yang seimbang.
·
Melestarikan
tradisi. Permainan mallogo adalah warisan leluhur yang mengajarkan budi pekerti
bagi anak. Oleh karena itu, permainan ini penting untuk dilestarikan agar
nilai-nilai pendidikan dalam permainan ini terpelihara.
·
Menjaga
kekompakan. Nilai ini tercermin dari strategi kelompok yang membutuhkan
kekompakan dalam menjalankan permainan agar menang.
·
Seni. Nilai
ini tercermin dari nilai seni yang tercermin dari bentuk logo dan alat
pemukulnya. Tidak mengherankan jika bagi sebagian orang, logo dijadikan koleksi.
F. MASSANTOK
1.
Asal Usul
Di daerah bugis, permainan ini
popular dengan nama massantok, kecuali orang bugis yang berdiam di soppeng
menyebutnya Maggalantok. Termasuk jenis permainan yang dapat dilakukan oleh
semua golongan masyarakat. Kehadiran permainan ini sangat berkaitan dengan
kegemaran suku bugis Menunggang Kuda.
2.
Peralatan
Alat yang digunakan untuk
permainan massantok, yaitu sebuah batu besar yang akan dijadikan sebagai
sasaran lontara permainan dan sebuah batu agak kecil dan pipih sebesar gemgaman
tangan untuk nasing-masing pemain.
3.
Pemain
Jumlah pemain dalam permainan
massantonk 2-6 orang. Peremainan dapat dilakukan oleh anak laki-laki ataupun
perempuan.
4.
Tempat Permainan
Permainan massantok biasa
dilakukan di lapangan atau di tempat yang terbuka.
5.
Nilai-nilai
Permainan massantok mengandung
nilai-nilai sebagai berikut:
·
Melatih
ketangkasan dan ketenangan. Permainan mallogo memerlukan ketangkasan pemainnya.
·
Melestarikan
tradisi. Permainan massantok adalah warisan leluhur yang mengajarkan budi
pekerti bagi anak. Oleh karena itu, permainan ini penting untuk dilestarikan
agar nilai-nilai pendidikan dalam permainan ini terpelihara.
·
Olahraga.
Nilai ini tercermin dari gerakan pemain saat melempar yang membutuhkan stamina,
energy, ketelitian dan fisik yang seimbang.
G.
MACCUBBU
1.
Asal Usul
Berasal dari kata cubbu yang
berarti sembunyi. Termasuk ke dalam permainan ini adalah Mallojo-lojo,
Ma’enggo, Mappalolekka, dan Mallonci. Pada zaman dahulu, dimainkan pada bulan
purnama dimana ketika itu anak-anak keluar rumah bermain bersuka cita.
Merupakan permainan rakyat yang sangat disukai oleh kalangan anak-anak.
H.
MAJJEKA
1.
Asal Usul
Berasal dari kata Jeka yang
artinya jalan. Merupakan permainan masyarakat pada umumnya oleh karena bahan
utamanya mudah diperoleh.
2.
Pemain
Jumlah pemain antara 2-4 orang.
Permainan ini banyak dilakukan oleh kalangan anak-anak, laki-laki dan perempuan.
3.
Peralatan Permainan
Perlengkapan permainan terdiri
atas tempurung kelapa yang utuh dan kuat dan tiap belahan ujungnya diberi
lubang. Juga terdapat dua utas tali yang panjangnya kurang lebih 1,5 meter.
4.
Cara Permainan
Tali di ikatkan ke dalam
tempurung kelapa yang telah di lubangi setelah itu tempurung kelapa di mainkan
dengan cara menginjakkan kaki kita di atasnya dan berjalan.